Rabu, 08 Juli 2015

WASPADAILAH PRILAKU MAKSIAT!



Sebagian saudara kita yang berjibaku dalam dunia dakwah mungkin pernah menyangka bahwa Allah SWT akan toleransi jika ia bermaksiat. Ia menyangka demikian karena ia merasa telah ber-iltizam dengan islam dan bergabung dengan barisan aktivis islam. Oleh sebab itu, dalam pandangannya, maksiat itu merupakan perkara sepele, terutama jika ia sudah sedemikian lama ber-iltizam dengan islam dan telah kehilangan semangat dan ghirah keagamaannya, karena satu dan lain hal.
Manakala ia menganggap sepele dosa-dosa kecil atau menganggap enteng perkara-perkara syubhat, tiba-tiba maka ia dapati hukuman Allah SWT demikian cepat mengenai dirinya. Ia pun kaget, tidak habis pikir. Bisa jadi, sekarang ia mengerjakan salah satu dosa, lalu beberapa jam kemudian ia merasakan akibatnya. Ia bingung ketika itu. Ia berkata kepada dirinya, “dulu aku sering melakukan ratusan dosa seperti dosa ini, bahkan yang lebih besar lagi, sebelum ber-iltizam dengan islam, tetapi aku tidak mendapati hukuman. Kini, hukuman terasa cepat sekali, langsung dan berat.
Jika aktivis islam ini memahami agamanya dengan baik, ia pasti tahu bahwa Allah SWT sangat cemburu jika hal-hal yang Dia haramkan dikerjakan oleh hambaNya. Dia lebih cemburu lagi jika hal-hal terlarang itu dikerjakan oleh para waliNya yang notabene orang-orang dekatNya dan orang-orang yang layak menjauhi perilaku maksiat. Karena itu, orang-orang yang mengemban risalah islam harus lebih bertakwa kepada Allah SWT, ia harus bisa menjauhi dosa-dosa kecil dan perkara-perkara syubhat, apalagi dosa-dosa besar. Sebab, mereka biasa melarang oranglain dari melakukan kemaksiatan. Lalu bagaimana mungkin jika ia sendiri melakukan kemaksiatan tersebut?.
Para aktivis islam di-hisab oleh Allah SWT dengan hisab yang lebih berat dan lebih sulit daripada yang dialami oranglain. Setiap aktivis harus menyadari bahwa antara Allah SWT dan manusia, kendati jabatannya tinggi, tidak ada hubungan kekerabatan. Allah bakal menegakkan keadilan karena Dia adalah Hakim yang Maha adil. Firmah Allah SWT : “(Pahala dari Allah) itu bukan menurut angan-angan kosong kalian dan tidak pula menurut angan-angan Ahlul kitab. Siapa saja yang mengerjakan kejahatan, niscaya ia dibalas karena kejahatannya itu.” (QS An-Nisa : 143)
Ayat di atas dianggap oleh sebagian sahabat Rasulullah saw sebagai ayat yang paling berat di dalam al-Quran. (HR Ibn Jarir dan Abu Dawud). Saya sendiri menganggap ayat ini adalah ayat yang paling menakutkan orang mukmin dan membuat bulu kuduknya merinding. Ayat di atas berbicara kepada para sahabat. Siapa mereka? Pernah dikisahkan bahwa kebaikan 1 orang sahabat Rasulullah yakni Umar bin Khattab ra. itu sebanding dengan ratusan kebaikan Abu bakar ra. Tapi Allah masih menurunkan ayat seperti itu kepada mereka, padahal mereka adalah orang-orang yang sudah dijamin masuk syurga. Lalu siapa kita? Bagaimana dengan kita, yang kebaikannya bercampur dengan keburukan? Bahkan ada jaminan masuk syurgapun tidak. Ayat di atas adalah lonceng bahaya, yang ditabuh untuk menyadarkan kita semua bahwa timbangan keadilan itu tidak hanya mengenai seseorang, setinggi apapun martabatnya., sebaik apapun orangnya, sebesar apapun pengorbannya untuk islam. Dosa dan maksiat adalah sumber malapetaka. Petaka terjadi karena dosa dan hilang karena tobat. Seorang syaikh mengitari salah satu majelis. Ia lalu berkata, “siapa ingin selalu dalam keadaan sehat, ia harus selalu bertakwa kepada Allah.”
Dalam sebuah hadist Nabi yang mulia pernah terungkap : “sesungguhnya seorang hamba bisa terhalang rezeki karena dosa yang dilakukannya.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad). Pernah sandal Abu Ustman an-Nisaburi putus dalam perjalanannya salat jumat dan ia butuh waktu satu jam untuk memperbaikinya. Ia berkata, “sandal ini putus karena aku tidak mandi hari jumat.”
Terkadang hukuman dari Allah itu  berupa hukuman moral. Misalnya, seseorang melihat sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Akibatnya, Allah mengharamkan cahaya hati nurani pada dirinya. Contoh lain : seseorang tidak bisa mengendalikan lisannya. Akibatnya, Allah mengharamkan baginya kejernihan hati. Seseorang tergoda untuk memakan makanan syubhat. Akibatnya, hatinya gelap, ia pun tidak bisa mengerjakan salat malam dan bermunajat kepada Allah. Maksiat itu melahirkan maksiat yang sama. Jika maksiat sering dikerjakan, maka terjadi akumulasi maksiat. Kadang-kadang pelaku maksiat melihat tubuhnya segar bugar, hartanya banyak dan tidak ada masalah dengan keluarganya. Ia mengira dirinya tidak dihukum, padahal ketidaktahuannya kalau ia sedang dihukum merupakan hukuman bagi dirinya. Cukuplah baginya, sesuatu yang manis berbuah manjadi pahit. Lalu yang ada tinggal pahitnya penyesalan dan kesedihan.
Diriwayatkan, seorang rahib Bani Israel pernah bermimpi bertemu dengan Allah SWT. Ia berkata, “Tuhanku, aku bermaksiat kepadaMu, tetapi engkau tidak menghukumku.” Allah lalu berfirman, “ Aku sudah sering menghukummu, tetapi engkau tidka tahu. Bukankah aku telah membuatmu tidak lagi dapat bermunajat kepadaku dengan manis?”
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah meringkas efek-efek maksiat dalam bukunya yang berjudul Al-Fawaid. Dengan sangat indah ia berkata, “diantara efek maksiat adalah pelakunya tidak banyak mendapatkan hidayah, pikirannya kacau, ia tidka melihat kebenaran dengan jelas, batinnya rusak, daya ingatnya lemah, waktunya hilanag sia-sia, dibenci manusia, hubungannya dengan Allah renggang, doanya tidak dikabulkan, hatinya keras, keberkahan dalam rezeki dan umurnya musnah, diharamkan mendapat ilmu, hina, dihinakan musuh, dadanya sesak, diuji dengan teman-teman jahat yang merusak hati dan menyia-nyiakan waktu, cemas berkepanjangan, sumber rezekinya seret, hatinya terguncang. Maksiat dan lalai membuat orang tidka bisa berdzikir kepada Allah, sebagaimana tanaman tumbuh karena air dan kebakaran terjadi karena api. Berkebalikan dengan semua itu adalah muncul karena ketaatan.” (Ibn al-Qayyim, kitab al-Fawaid, hal.43)
Ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata, “siapa saja yang merenungkan kehinaan saudara-sudara Nabi Yusuf, mereka tahu betapa dosa itu menghinakan mereka, kendati mereka telah bertaubat. Sebab orang yang pakaian bolongnya ditambal tidak akan sama dengan orang yang pakaiannya utuh. Tulang yang pernah patah tidak dapat pulih seperti sediakala. Kalaupun pulih, tulang tersebut lemah.” (Ibn al-Jauzi, Shayd al-Khathir, hal.123). Maka hindarilah diri kita dari melakukan maksiat bahkan debu maksiat sekalipun, karena waktu tidak akan opernah kembali, ketika maksiat dijalankan semuanya tidak akan pernah bisa kembali seperti sediakala yang ada hanyalah penyesalan dalam diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar