Senin, 18 Agustus 2014

Aku, di enam tahun yang lalu



 

Ada apa denganku di enam tahun yang lalu? Silahkan simak apa yang akan aku sampaikan pada kalian, iyah kalian! Kalian yang merasa penasaran dengan apa maksud tulisan ini aku buat.
Jadi begini ceritanya,,, kamu tahu kemarin pada tanggal 17 Agustus itu hari apa? Hari ahad! Iyah hari ahad, tapi selain itu ada hari yang lebih katanya “bersejarah” bagi bangsa Indonesia, yup betul! Hari kemerdekaan Republik Indonesia yang kamu (maybe), dia, mereka dan aku (di enam tahun lalu) cintai, kenapa harus enam tahun yang lalu? Terus saat ini aku tidak mencintai negara ini? tenang...tenang... kamu akan mendapatkan jawabannya setelah selesai menyimak tulisan ini sampai tuntas.
Oke, kembali kepermasalahan tadi, ada apa dengan aku di enam tahun yang lalu? Singkat cerita, kemarin tidak sengaja di kosan bersama teman-teman putri menyaksikan tayangan penurunan bendera merah putih yang diselenggarkan di lapangan istana Merdeka, aku menyaksikan tayangan tersebut dari mulai penurunan hingga sang pembawa baki menyerahkan bendera tersebut ke tangan Presiden, sebenarnya sih pokok dari tulisan ini bukan di 17 Agustusnya tapii ada hal lain yang akan terungkap di akhir tulisan ini. 
Hmm,,,setelah menyaksikan tayangan itu, tiba-tiba aku teringat kejadian mungkin lebih tepatnya pengalaman di enam tahun yang lalu, nahh...kita mulai masuk ke pokok masalah yang membuat kamu penasaran dari tadi. Jadi, di enam tahun yang lalu akupun pernah ada di posisi mereka, ada dilapangan besar walaupun beda tempat, dengan bendera yang sama, di hari/moment yang sama, dilihat oleh ratusan pasang mata dan tentunya dengan kebanggaan yang sama, dan mungkin orang-orang yang melihat lebih merasa bangga tentunya, kenapa? Karena bagaimana tidak, orang-orang yang ada di tengah lapangan tersebut adalah siswa-siswi terbaik dari perwakilan sekolah yang ada ditingkat pemerintahan baik daerah ataupun pusat/Nasional. Aku bangga? Tentu, pada saat itu aku sangat bangga, dari sekolahku yang lulus seleksi hanya aku sendiri, dan setelah masuk kabupaten pun aku berlomba dengan ratusan siswa dari berbagai sekolah. Lebih dari 2 bulan aku harus menjalani latihan setiap akhir pekan dan tentu itu bukan hal yang mudah bagiku, karena jarak dari sekolahku ketempat latihan cukup jauh dan memaksaku untuk menginap ditempat teman yang jarak ke tempat latihan cukup dekat, sore-sore setelah beres latihan akupun harus segera pulang karena besoknya (hari senin) aku harus ke sekolah jadi mau tidak mau setiap minggu aku harus melalui perjalanan malam yang minimal sampai di rumah pada pukul 23.00, bayangkan itu harus dilalui oleh anak kelas 1 SMA, sebenarnya itu umur yang cukup untuk bepergian jauh apalagi aku terkenal anak pemberani hehe...itu kata nenekku. Tapii, masalahnya adalah hal yang kurang wajar jika itu dilakukan setiap pekan mengingat aku anak perempuan apalagi ibuku selalu khawatir apabila lewat jam 22.00 aku masih di perjalanan pulang ke rumah.
Singkatnya, dengan kondisi diatas, bagaimana mungkin aku tidak merasa bangga dengan diriku sendiri ketika bisa berdiri ditengah lapangan, disaksikan oleh banyak orang, memakai pakaian putih-putih, dengan melakukan pormasi membentuk sebuah susunan/barisan yang indah sebagai pengibar bendera duplikat pusaka RI, dengan sebelumnya harus melalui berbagai rintangan dan tantangan dari mulai ikut seleksi, menjalani latihan yang keras dan ketat dari mulai pagi hingga sore, latihan baris-berbaris, langkah tegap yang baik dan tetap indah dipandang, tersenyum dalam kondisi hati dongkol, makan cepat dalam kondisi badan yang tetap tegap tanpa suara, bagaimana cara menghormati bendera, membawanya, melipatnya, menyimpannya, hingga menciumnya,  semua aku pelajari hingga pemusatan (asrama) selama lebih kurang 2 minggu tanpa bertemu orangtua dan tanpa alat komunikasi, latihan dari pagi hingga sore dan malamnya aku harus mengikuti materi hingga jam 23.00 dalam kondisi cape dan ngantuk bayangkan ituu, semua aku lalui... tapi pada saat itu aku sangat menikmatinya karena tidak semua anak seumuranku bisa menjalaninya. Yang aku pahami pada saat itu adalah, aku sedang mengemban tugas “mulia” dan aku harus menjalaninya dengan serius sehingga bisa membawa kebanggaan bagi Indonesia, daerahku, sekolahku dan keluargaku. Aku menjadi sosok Nasionalis dan Patriotis yang sangat cinta tanah air dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.
Hmm,, itulah sekelumit kisah hasil memutar memoriku kembali pada enam tahun silam, yah aku di enam tahun yang lalu. Bagaimana dengan aku disaat ini? apakah masih sama seperti aku di enam tahun silam dengan rasa cinta tanah air, Nasionalis, Patriotis and whatever this.
Sabar yaah teman-teman,, Yuk... temukan jawabannya ditulisanku selanjutnya.
To be continue...

Selasa, 15 Juli 2014

Ternyata, masalahnya ada pada kita



Dulu saya sempat berpikir bahwa permasalahan yang menimpa manusia itu cenderung berubah/dinamis. Tapi ternyata logikanya bukan seperti itu, manusianyalah yang berubah sedangkan masalah yang dihadapi tidak berubah, statis sesuai dengan fase yang dilewati oleh setiap manusia. Sebagai contoh, masalah yang dihadapi oleh mahasiswa baru hanya berkutat di permasalahan menumpuknya tugas akademik dan tugas yang diberikan oleh senior ketika masa-masa ospek. Contah lain, galaunya mahasiswa tingkat akhir karena urusan skripsi yang tidak ada ujungnya, atau contoh lain ketika Ia sudah lulus dan menjadi sarjana masalah itupun tetap ada, bingung apakah harus kerja dan ketika bekerjapun harus kerja apa (karena sulitnya mencari lowongan) ? Tapi kalaupun harus menikah, bingung masih banyak hal yang belum disiapkan, atau jika terpikir untuk meneruskan studi (S2) bidang apa yang harus diambil dan darimana biaya kuliah harus didapat (karena lagi-lagi tidak mau menyusahkan orangtua)?. Dan pada faktanya semua permasalahan itu hampir semua manusia yang berada di fase-fase tersebut mengalaminya, dan sebenarnya diapun sudah memprediksi lebih dulu resiko-resiko apa saja yang akan dia hadapi ketika memilih dan melewati fase-fase tersebut.
Dalam firmanNya, Allah SWT telah mengingatkan kita akan hal di atas. Sebagai contoh dalam Q.S Al-Mu’minun : 62 Allah Berfirmah : “Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya......” atau di Q.S Al-A’raf : 42 “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar kemampuannya.....” dan dibeberapa ayat yang lain Allahpun sudah menjelaskan begitu gamblang yang pada intinya adalah permasalahan yang dihadapi manusia itu sebenarnya “itu-itu” saja, statis dan sebagian orangpun melewatinya., yang membuat permasalahan yang dihadapi manusia itu berubah adalah manusianya itu sendiri. Seperti contoh, orang yang tidak memiliki suami dan anak tidak mungkin diberi ujian/masalah yang sama dengan orang yang memiliki keduanya, dia tidak mungkin dipusingkan dengan urusan rumah tangga, sulitnya mendidik anak, dan berbagai masalah yang muncul akibat berbedanya pendapat dengan suami bahkan masalah yang muncul dari keluarga besarnya (pihak suami atau istri). Pertanyaannya saat ini adalah, mengapa bisa terjadi fakta perbedaan masalah yang muncul dari setiap manusia? itu dikarenakan fase yang dilalui oleh manusia itu sendiri dan sebenarnya manusia yang menentukan pilihan apakah akan memilih fase-fase kehidupan tersebut atau tidak.
Kemudian apa yang menyebabkan kadar ujian yang dihadapi setiap manusia berbeda? Ada yang berat, ada yang ringan, bahkan ada juga yang kehidupannya flat gitu-gitu aja tidak ada feelnya sama sekali, hal tersebut dapat kita lihat dari tingkat keimanan manusia tersebut. Dalam Q.S Albaqarah:214 Allah berfirman : “apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan.....” dan di Q.S Asy-Syuura:30 “Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri (pilihan).....” dan dibeberapa hadist Rasul pun sudah dijelaskan bahwa tingkat kesulitan sebuah ujian itu dipengaruhi oleh tingkat keimanan seseorang.walaupun memang terkait dengan sebesar apa kadar ujian itu dan kepada siapa Allah menimpakanNya, itu merupakan hak mutlak Allah sebagai pencipta, namun hanya saja manusia bisa mengukur kualitas keimanannya dan tingkat kemampuannya serta memilih untuk melalui fase-fase kehidupannya seperti contoh-contoh sebelumnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa masalah/ujian/cobaan itu menimpa seorang manusia tergantung dari fase kehidupan yang Ia jalani (anak-anak, remaja, dewasa) dan pilihan hidupnya (pengangguran, mahasiswa, berumahtangga dll) dan ketika melalui fase-fase tersebut berikut dengan pilihan hidupnya masing-masing, maka akan turun ujian sesuai dengan kemampuannya dan tingkat/kualitas keimanan yang ada pada dirinyapun mempengaruhi pula kadar (besar kecilnya) ujian yang menimpanya, akan tetapi permasalahannya adalah keimanan seseorang itu akan tampak jelas terlihat pada saat Ia menyelesaikan permasalahan itu, apakah bersabar atau tidak, tawakal kepada Allah atau tidak, Islam yang dijadikan solusi baginya atau tidak dan juga setelah Ia berhasil melalui ujian tersebut (dengan menyertakan Allah atau tidak) apakah Ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya atau malah ujian tersebut membuat Ia berputus asa dan jauh dari Allah, itupun dipengaruhi oleh bagaimana Ia menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sebelumnya.
Maka dari itu, sudah sepantasnya kita menyadari bahwa segala hal yang menimpa manusia adalah sudah kehendak Allah dengan pilihan-pilihan yang sudah kita tentukan, maka apapun permasalahannya kembalikanlah kepada Allah dengan begitu kita akan sadar bahwa ujian itu datangnya dari Allah maka solusi yang harus kita gunakan untuk menyelesaikannya hanyalah melalui jalan Allah (Islam).

Senin, 09 Juni 2014

Pilpres! Utopis Mendatangkan Perbaikan Negara




Pemilihan Umum Capres dan Cawapres tinggal menghitung hari, pada 9 Juli 2014 mendatang rakyat Indonesia akan menentukan pilihannya sekaligus mempertaruhkan akan kemana negara ini dibawa oleh pemimpinnya yang baru. Panas-panas kampanye calon sudah sangat terasa, dan tidak sedikit KPU menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan baik oleh tim sukses bahkan oleh calonnya sendiri. Segala macam cara dilakukan oleh kedua kubu capres dan cawapres, dari mulai mengumpulkan parpol untuk berkoalisi, para pengusaha yang rela “menghibahkan” sebagian hartanya demi kelancaran kampanye, hingga mendatangi ketua perkumpulan di masyarakat guna memperbesar kantong suara pemilu.
Selain itu, berbagai macam pencitraan dilakukan oleh kedua pasangan guna menarik simpati masyarakat, kedua pasangan sama-sama memilih warna putih sebagai identitasnya untuk memberi pesan bahwa mereka bersih. Citra ini tentu penting saat wajah Indonesia belepotan oleh korupsi. Putih juga tentu untuk mengesankan bahwa mereka tulus mengabdi untuk kepentingan rakyat, independen serta bukan penguasa boneka yang disetir dan dikendalikan oleh pihak dalam atau luar negeri.
Tidak lupa visi dan janji-janji manis dilontarkan, pasangan Jokowi-JK mengusung visi “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”. Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengusung, “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia”. Kedua pasangan sama-sama mengklaim mengusung ekonomi kerakyatan. Mereka berjanji membuka jutaan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan perkapita, membuka jutaan hektar lahan baru, membangun infrastruktur, menata sektor pertambangan, menata sektor energi, mengembangkan energi terbarukan, membangun kilang, memperbaiki dan membangun irigasi untuk jutaan hektar lahan, meningkatkan hasil perikanan dan kesejahteraan nelayan, menata sektor keuangan dan sejumlah janji-janji muluk lainnya.
Meski kedua pasangan sama-sama mengusung ekonomi kerakyatan, bentuk dan gambarannya belum jelas. Yang mereka usung tetap sistem ekonomi kapitalisme, dengan sedikit polesan berupa program yang “menyasar rakyat kecil, petani dan nelayan”. Pilar-pilar sistem ekonomi kapitalisme-liberal masih tetap dipertahankan. Sistem moneternya masih tetap mata uang fiat money dan berbasis riba. Sumber terbesar pendapatan negara tetap bertumpu pada pajak. Bahkan kedua pasangan bertekad untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak dan cukai. Sistem anggaran juga tetap menggunakan utang meski katanya akan dikurangi. Jika utang LN dikurangi, tumpuannya akan beralih pada utang dalam negeri dalam bentuk surat utang negara, meniru negara-negara kapitalis seperti AS dan Jepang. Dijanjikan pula, utang akan lebih digunakan untuk infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.
Siapapun capres dan cawapresnya tidak dapat merubah suatu kebijakan dalam hal apapun. Maka, dengan adanya pilpres ini hingga kapanpun tidak akan pernah membawa Indonesia khususnya rakyat ke arah yang lebih baik selama sistem yang dipakai masih demokrasi yang berlandaskan pada kapitalisme. Tentunya yang akan lebih diuntungkan hanyalah pihak swasta yang memiliki modal. Jadi omong kosong apabila kedua pasangan tersebut mengatakan akan independen (tanpa campur tangan swasta/asing) dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin.
Jadi pada kenyataanya, yang ditawarkan oleh kedua pasangan adalah melanjutkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme disertai sedikit modifikasi. Padahal selama ini sistem ekonomi kapitalisme itulah yang menjadi sebab timpangnya distribusi kekayaan di negeri ini. Sistem ini juga menjadi pintu masuk cengkeraman asing terhadap perekonomian negeri ini. Akibatnya, kekayaan negeri ini lebih banyak untuk kesejahteraan pihak asing, bukan untuk rakyat.
Saat ini rakyat sudah sangat membutuhkan sosok pemimpin yang amanah, bukan hanya sekedar pintar dalam menyususn “laporan” anggaran keuangan apalagi mengumbar jani-janji tak pasti, karena rakyat sudah sangat “gerah” akan hal itu. Sesungguhnya negeri ini dengan segala yang ada di atasnya adalah milik Allah SWT. Semuanya telah Allah SWT titipkan kepada penduduk negeri ini untuk dikelola dengan baik. Karena itu, negeri ini harus dipimpin oleh penguasa yang memiliki kemampuan dan sifat amanah. Dalam Islam, kekuasaan itu sendiri adalah amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat nanti. Rasul saw. bersabda saat Abu Dzar ra. meminta jabatan:
Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu pada Hari Kiamat akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan al-Hakim).
Tugas penguasa adalah mengurusi segala kepentingan rakyatnya. Penguasa ibarat penggembala yang bertanggung jawab atas semua gembalaannya. Rasul saw. mengingatkan:
Sungguh seburuk-buruk penggembala adalah al-khuthamah. Karena itu jangan sampai engkau termasuk dari mereka (HR Muslim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Saat ini negara yang sudah dipenuhi oleh kolusi, korupsi, manipulasi dan berbagai bentuk kecurangan, kebutuhan akan penguasa yang amanah sudah sangat darurat dan tidak bisa digantikan oleh yang lain. Hanya penguasa amanah saja yang akan bisa menertibkan pejabat dan aparatur negara di bawahnya. Sayangnya, penguasa amanah tersebut utopis dapat ditemukan disistem saat ini yang sudah jelas-jelas berasakan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) tentunya mereka akan menapikan keterlibatan agama dalam pengaturan kenegaraan. Maka pemimpin amanah yang bertakwa kepada Allah dan menyadari bahwa kekuasaan itu sebagai tanggungjawab dan harus dijalankan sebaik-baiknya hanya ada dalam sistem islam yang menerapkan syariat islam dibawah naungan daulah khilafah islamiyah.

Senin, 19 Mei 2014

Menoreh Tinta Putih, tak Berbekas, Sia-sia



Ibarat nasi sudah menjadi bubur, akan tetap seperti itu tidak akan berubah menjadi nasi atau beras kembali yang ada akan menjadi basi ketika tidak segera dieksekusi. Begitu pula lah dengan perbuatan manusia, benar atau salah itu akan tetap menjadi bentuk perbuatan, yang baik akan tetap baik dan yang buruk akan tetap buruk, tidak mungkin berubah sebaliknya. Apa yang bisa dilakukan oleh manusia?? Ya,benar! MENYESAL,, apapun bentuk perbuatannya, perbuatan baik pun dia akan bertanya “MENGAPA saya tidak bisa lebih baik DARIPADA itu? PADAHAL saya mampu”. Apalagi ketika dia melakukan perbuatan buruk, diapun tetap bertanya “MENGAPA saya melakukan hal itu, PADAHAL saya mampu melakukan hal lain DARIPADA itu”. Ya, itulah sifat manusia yang begitu melekat pada dirinya, apakah itu hal yang wajar? Saya pikir itu akan menjadi sangat tidak wajar ketika manusia tidak mampu mensyukuri apa yang telah Ia dapatkan. Apa itu? bukan! Maksud saya bukan mensyukuri perbuatan salah yang telah Ia lakukan namun bersyukur bahwa Ia masih diberi kesempatan untuk berubah dan meningkatkan perbuatan baiknya dimasa depan. Orang baik itu bukan berarti orang yang tidak pernah melakukan kesalahan namun orang yang bisa belajar dari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.