Senin, 09 Juni 2014

Pilpres! Utopis Mendatangkan Perbaikan Negara




Pemilihan Umum Capres dan Cawapres tinggal menghitung hari, pada 9 Juli 2014 mendatang rakyat Indonesia akan menentukan pilihannya sekaligus mempertaruhkan akan kemana negara ini dibawa oleh pemimpinnya yang baru. Panas-panas kampanye calon sudah sangat terasa, dan tidak sedikit KPU menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan baik oleh tim sukses bahkan oleh calonnya sendiri. Segala macam cara dilakukan oleh kedua kubu capres dan cawapres, dari mulai mengumpulkan parpol untuk berkoalisi, para pengusaha yang rela “menghibahkan” sebagian hartanya demi kelancaran kampanye, hingga mendatangi ketua perkumpulan di masyarakat guna memperbesar kantong suara pemilu.
Selain itu, berbagai macam pencitraan dilakukan oleh kedua pasangan guna menarik simpati masyarakat, kedua pasangan sama-sama memilih warna putih sebagai identitasnya untuk memberi pesan bahwa mereka bersih. Citra ini tentu penting saat wajah Indonesia belepotan oleh korupsi. Putih juga tentu untuk mengesankan bahwa mereka tulus mengabdi untuk kepentingan rakyat, independen serta bukan penguasa boneka yang disetir dan dikendalikan oleh pihak dalam atau luar negeri.
Tidak lupa visi dan janji-janji manis dilontarkan, pasangan Jokowi-JK mengusung visi “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”. Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengusung, “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia”. Kedua pasangan sama-sama mengklaim mengusung ekonomi kerakyatan. Mereka berjanji membuka jutaan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan perkapita, membuka jutaan hektar lahan baru, membangun infrastruktur, menata sektor pertambangan, menata sektor energi, mengembangkan energi terbarukan, membangun kilang, memperbaiki dan membangun irigasi untuk jutaan hektar lahan, meningkatkan hasil perikanan dan kesejahteraan nelayan, menata sektor keuangan dan sejumlah janji-janji muluk lainnya.
Meski kedua pasangan sama-sama mengusung ekonomi kerakyatan, bentuk dan gambarannya belum jelas. Yang mereka usung tetap sistem ekonomi kapitalisme, dengan sedikit polesan berupa program yang “menyasar rakyat kecil, petani dan nelayan”. Pilar-pilar sistem ekonomi kapitalisme-liberal masih tetap dipertahankan. Sistem moneternya masih tetap mata uang fiat money dan berbasis riba. Sumber terbesar pendapatan negara tetap bertumpu pada pajak. Bahkan kedua pasangan bertekad untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak dan cukai. Sistem anggaran juga tetap menggunakan utang meski katanya akan dikurangi. Jika utang LN dikurangi, tumpuannya akan beralih pada utang dalam negeri dalam bentuk surat utang negara, meniru negara-negara kapitalis seperti AS dan Jepang. Dijanjikan pula, utang akan lebih digunakan untuk infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.
Siapapun capres dan cawapresnya tidak dapat merubah suatu kebijakan dalam hal apapun. Maka, dengan adanya pilpres ini hingga kapanpun tidak akan pernah membawa Indonesia khususnya rakyat ke arah yang lebih baik selama sistem yang dipakai masih demokrasi yang berlandaskan pada kapitalisme. Tentunya yang akan lebih diuntungkan hanyalah pihak swasta yang memiliki modal. Jadi omong kosong apabila kedua pasangan tersebut mengatakan akan independen (tanpa campur tangan swasta/asing) dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin.
Jadi pada kenyataanya, yang ditawarkan oleh kedua pasangan adalah melanjutkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme disertai sedikit modifikasi. Padahal selama ini sistem ekonomi kapitalisme itulah yang menjadi sebab timpangnya distribusi kekayaan di negeri ini. Sistem ini juga menjadi pintu masuk cengkeraman asing terhadap perekonomian negeri ini. Akibatnya, kekayaan negeri ini lebih banyak untuk kesejahteraan pihak asing, bukan untuk rakyat.
Saat ini rakyat sudah sangat membutuhkan sosok pemimpin yang amanah, bukan hanya sekedar pintar dalam menyususn “laporan” anggaran keuangan apalagi mengumbar jani-janji tak pasti, karena rakyat sudah sangat “gerah” akan hal itu. Sesungguhnya negeri ini dengan segala yang ada di atasnya adalah milik Allah SWT. Semuanya telah Allah SWT titipkan kepada penduduk negeri ini untuk dikelola dengan baik. Karena itu, negeri ini harus dipimpin oleh penguasa yang memiliki kemampuan dan sifat amanah. Dalam Islam, kekuasaan itu sendiri adalah amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat nanti. Rasul saw. bersabda saat Abu Dzar ra. meminta jabatan:
Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu pada Hari Kiamat akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan al-Hakim).
Tugas penguasa adalah mengurusi segala kepentingan rakyatnya. Penguasa ibarat penggembala yang bertanggung jawab atas semua gembalaannya. Rasul saw. mengingatkan:
Sungguh seburuk-buruk penggembala adalah al-khuthamah. Karena itu jangan sampai engkau termasuk dari mereka (HR Muslim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Saat ini negara yang sudah dipenuhi oleh kolusi, korupsi, manipulasi dan berbagai bentuk kecurangan, kebutuhan akan penguasa yang amanah sudah sangat darurat dan tidak bisa digantikan oleh yang lain. Hanya penguasa amanah saja yang akan bisa menertibkan pejabat dan aparatur negara di bawahnya. Sayangnya, penguasa amanah tersebut utopis dapat ditemukan disistem saat ini yang sudah jelas-jelas berasakan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) tentunya mereka akan menapikan keterlibatan agama dalam pengaturan kenegaraan. Maka pemimpin amanah yang bertakwa kepada Allah dan menyadari bahwa kekuasaan itu sebagai tanggungjawab dan harus dijalankan sebaik-baiknya hanya ada dalam sistem islam yang menerapkan syariat islam dibawah naungan daulah khilafah islamiyah.