Selasa, 17 Februari 2015

Kisruh KPK-POLRI dan Sistem Peradilan Dalam Islam


Sampai detik ini masyarakat masih dibingungkan dengan kisruh para pejabat negara, yakni “pertarungan” antara KPK-POLRI, yang tidak ada ujungnya seolah sulit mendapatkan jalan keluar. Kasus ini bermula saat KPK menetapkan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Padahal Budi Gunawan telah diajukan oleh Presiden Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Jenderal Sutarman. Meski BG sudah ditetapkan sebagai tersangka, pencalonan BG sebagai Kapolri tetap diproses dalam Sidang Pleno DPR. DPR pun setuju dan menerima. Namun, karena BG jadi tersangka, Presiden Jokowi memutuskan menunda pelantikan BG sebagai Kapolri. Jokowi lalu memberhentikan dengan hormat Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.
BG dijerat kasus pidana penerimaan hadiah dan janji saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Mabes Polri 2003-2006. Setelah penetapan BG sebagai tersangka, mulai muncul kasus-kasus yang mendera para petinggi KPK, diantaranya ketua KPK (Abraham Samad), Bambang Widjayanto, Pandu Praja dan Zulkarnain. Abraham Samad dituduh melakukan prilaku tak senonoh dengan beredar foto yang memperlihatkan Abraham Samad berpose mesra dengan Putri Indonesia, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri. BW dituduh mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat Kalteng di MK. Namun, itu terjadi pada 2010 lalu. Selain itu. Kemudian, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Bareskrim. Ia dituduh telah menguasai saham PT. Daisy Timber di Berau, Kalimantan Timur dengan cara-cara yang tidak benar. Namun, kasus itu pun sudah lama, yakni terjadi pada tahun 2006 (Lihat: Republika.co.id, 24/1). Selanjutnya, Presidium Jatim Am dari Aliansi Masyarakat Jawa Timur, Fathorrasjid, menyatakan bahwa pihaknya akan melaporkan Zulkarnain ke Bareskrim. Zulkarnain diduga menerima uang suap sekitar Rp 5 miliar pada 2010 untuk menghentikan penyidikan perkara penyelewengan anggaran Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008. Saat itu Zulkarnain menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim (Lihat: Tempo.co.id, 26/1).
Kisruh yang terjadi ini untuk ke sekian kalinya membuktikan betapa Politik ‘Saling Sandra’, terjadi dikalangan elit politik. Penegakan hukum sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Kelemahan dan kasus hukum pihak lain lantas dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan masing-masing. Celakanya hal ini melibatkan para penegak hukum yakni KPK dan Polri. Inilah buah dari sistem demokrasi yang mahal dan menghalalkan segala cara. Alih-alih mengurusi urusan rakyat, para pejabatnya sibuk dengan kepentingan diri dan para cukongnya. Pada gilirannya hilangnya moralitas dan etika dalam penegakan hukum terjadi.
Dengan sistem demokrasi seperti itu, di belakang para politisi, penguasa dan pejabat, semuanya ada kepentingan politik dan ekonomi (modal) yang terus menyertai. Agar kepentingan semua pihak bisa diwujudkan, semua pihak harus terus berkompromi satu sama lain. Agar kompromi itu terus terjadi maka salah satu caranya adalah dengan saling menyandera satu sama lain. Dengan begitu masing-masing pihak akan terkontrol dan tidak saling berulah sehingga merugikan kepentingan mereka sendiri. Semua yang terjadi juga menjadi bukti bahwa demokrasi hanya menawarkan ilusi demi ilusi: ilusi kesejahteraan, ilusi keadilan, ilusi kedaulatan, ilusi rezim yang senantiasa mendengarkan aspirasi rakyat dan ilusi-ilusi lainnya. Semua itu pada akhirnya menjadi bukti kebobrokan sistem demokrasi. Pada titik inilah tepat direnungkan firman Allah SWT: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki. Hukum siapakah yang lebih baik dibandingkan dengan hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”  (TQS al-Maidah [5]: 50).
Kisruh sepeti di atas sulit dibayangkan dapat terjadi bila sistem Islam ditegakkan. Ada seperangkat sistem Islam yang memastikan penegakan hukum bisa berjalan. Di antaranya, Pertama: Kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang bersifat individual. Ketentuan ini berlaku dalam semua level kepemimpinan. Kepemimpinan dalam Islam haruslah dipegang oleh satu orang, tidak boleh lebih. Dalam hal kepemimpinan negara, seorang Khalifah tidak bisa disetir oleh pihak manapun, baik dalam hal kebijakan hukum termasuk dalam hal menentukan pejabat dan para pembantunya. Karena itu, syarat menjadi seorang Khalifah harus merdeka. Selain itu, kepemimpinannya juga tunggal, bukan kolektif kolegial. Berbeda dengan sistem demokrasi, konsep pembagian kekuasaan sering kali mengerdilkan kekuasaan presiden. Terlebih dengan kenyataan bahwa presiden bukan hanya harus bertanggung jawab kepada DPR, melainkan dia harus tunduk kepada kepentingan para cukong, baik para Kapitalis maupun cukong politik yang memopulerkannya. Inilah yang sangat kental dalam kisruh pencalonan BG.
Kedua: Islam menjamin tidak adanya tumpang tindih kewenangan. Berbeda dengan sistem demokrasi saat ini, sama-sama kasus yang berbau korupsi, namun penyidikannya bisa dilakukan oleh lembaga yang berbeda-beda. Ketiga: Islam menjamin kepastian hukum. Sistem peradilan Islam hanya satu. Islam juga tidak mengenal adanya pembagian jenjang pengadilan. Oleh karena itu, dalam sistem peradilan Islam tidak dikenal istilah pra-peradilan, peradilan banding, maupun kasasi. Keempat: Islam mengajarkan bahwa setiap kasus hukum tidak boleh ditangguh-tangguhkan, sehingga tidak terjadi penumpukan kasus, apa lagi dijadikan alat untuk menjatuhkan pihak lain. Dalam kasus persengketaan (al-khusumat). Islam mewajibkan kepada penuntut untuk segera mendatangkan saksi dan kepada yang dituntut untuk bersumpah, bila kasus yang diajukan kepadanya tidak benar.
Kelima: Islam tidak hanya mengatur mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para pemangkunya dengan berbagai kriteria yang ekstra ketat. Selain kriteria Muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu dan adil. Lebih dari itu, ada kriteria umum yang harus dimiliki oleh semua hakim, yakni kelayakan dan ketakwaan. Islam menetapkan akhlak para hakim, antara lain harus berwibawa, menjaga harga diri, tidak banyak berinteraksi dengan orang, senda gurau dengan mereka, menjaga ucapan dan tindak tanduknya. Para hakim dipilih dari orang-orang  yang tegas tetapi tidak kasar, lembut tetapi tidak lemah, cerdas, sadar, tidak lengah dan tertipu ketika memutuskan, bersih hatinya, wara’, bijak, jauh dari sikap tamak, baik terhadap materi maupun jabatan.
Keenam: Islam juga menetapkan hukum-hukum tertentu terhadap para penegak hukum, agar ia benar-benar dapat berkonsentrasi dalam menjalankan tugasnya, seperti larangan mendapatkan hadiah, larangan menyibukkan diri dalam aktivitas yang bisa melalaikan tugasnya, termasuk berbisnis dan sejenisnya. Ketujuh:  jika seluruh kriteria, mekanisme dan pintu di atas telah ditutup, tetapi praktek suap masih juga terjadi, maka hanya sanksi yang keras dan tegaslah yang bisa menghentikan mereka. Karena itu, Islam pun menetapkan sanksi kepada mereka yang melakukan suap; baik penyuap, penerima suap, maupun perantaranya.
Islam adalah agama yang sempurna, datang dengan segenap sistem yang paripurna untuk menyelesaikan persoalan hukum dan peradilan serta menjamin kemaslahatan bagi umat manusia. Dan semuanya itu hanya dapat dicapai dengan penegakkan syariat islam dibawah naungan Khilafah Islamiyah.




Senin, 16 Februari 2015

‘Charlie Hebdo’, Merendahkan Kemuliaan Islam


Sebuah majalah di Prancis “Charlie Hebdo” menerbitkan karikatur penistaan Nabi Muhammad saw. Atas penyebaran karikatur tersebut, kantor Charlie Hebdo diserang oleh dua orang pada tanggal 7 Januari 2015.12 orang tewas dalam insiden itu, dua orang yang dikatakan sebagai pelaku serangan itu dan seorang lagi yang melakukan penyanderaan di sebuah toko makanan di Paris dan tewas ditembak polisi Prancis.
Hal ini sontak mengundang perhatian warga Prancis khususnya. Hari Minggu (11/1) sekitar juta orang lebih turun ke jalanan Paris untuk menyatakan solidaritas terhadap Charlie Hebdo sekaligus menentang serangan itu. Mereka mengusung poster bertuliskan: “Je Suis Charlie (Saya Charlie)”. Sebanyak empat puluh orang tokoh dan pemimpin negara ikut ambil bagian dalam aksi itu. Perdana Menteri Prancis Manuel Valls mengatakan (Kompas, 12/1), “Ini akan merupakan demonstrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan akan tertulis dalam buku sejarah.”
Apabila ditelusuri lebih dalam, serangan itu bukan tanpa alasan, serangan itu dilatarbelakangi aksi provokasi berupa penistaan Islam dan Nabi Muhammad saw. sebab, jika tidak ada penistaan tersebut, niscaya serangan itu tidak akan terjadi. Pada faktanya, majalah Charlie Hebdo beberapa kali memuat kartun menistakan Islam dan Nabi Muhammad saw. kelompok Muslim di Prancis mengajukan itu ke Pengadilan Prancis, namun mantan Presiden Prancis Nicholas Sarkozy mendukung Charlie Hebdo. Dia membenarkan tindakan majalah itu sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berbicara. Pada 22 Maret 2007, Pengadilan Prancis menyatakan Charlie Hebdo tidak bersalah. Para tokoh Eropa juga banyak yang memberikan dukungan baik tersirat atau terang-terangan dengan alasan kebebasan berekspresi. Jadi, dalam pandangan Barat, aksi penistaan Nabi saw. oleh Charlie Hebdo dianggap benar secara hukum dan dianggap sebagai ekspresi kebebasan yang disakralkan.
Mereka demikian peduli dan simpati terhadap korban serangan di kantor majalah satir yang menebar provokasi itu, tetapi sebaliknya, mereka diam terhadap ribuan korban pembantaian oleh zionis Israel dan malah membela zionis Israel itu, tentu hal ini merupakan sebuah kejanggalan dan sikap tidak adil. Barat juga diam terhadap pembunuhan jutaan orang di Irak, pembantaian ratusan ribu kaum Muslim oleh rezim Asad di Suriah serta pembunuhan umat Islam di Rohingya, Pakistan, Afrika, Xinjiang dan tempat lainnya. Bahkan Barat menjadi pelakunya.
Namun, disisi lain serangan Charlie Hebdo juga tidak bisa dikatakan benar karena serangan itu jelas berdampak negatif bagi orang-orang Eropa non-Muslim, bisa menjauhkan mereka dari usaha mengenal Islam. Serangan itu juga mendatangkan dampak negatif dan kesulitan tersendiri bagi generasi Muslim di Eropa, buktinya Islamophobia pasca serangan itu meningkat di Eropa. Maka, kedua hal ini perlu ada penyikapan yang mendalam dan jelas.
Barat sering kali mengklaim kebebasan dalam segala, dengan adanya hal ini Jelas klaim kebebasan yang diusung Barat hanya kebohongan. Di mana klaim kebebasan itu ketika mereka mempersulit bahkan melarang Muslimah mengenakan jilbab di ruang publik, hak mereka mendapat pendidikan dirampas, kecuali mereka menanggalkan jilbab? Bahkan memakai cadar dianggap bersalah secara hukum dan dijatuhi sanksi dengan membayar denda.
Dalih kebebasan berekspresi mereka gunakan sesuai dengan kepentingan mereka, Kebebasan berekspresi tidak berlaku jika hal itu mengganggu kepentingan Barat. Sebaliknya, jika menyerang dan menistakan Islam, Nabi Muhammad saw. dan simbol-simbol Islam, maka itu dibenarkan sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Dalam kasus Charlie Hebdo, ketika mayoritas negeri Islam memprotes dan menuntut Charlie Hebdo menanggalkan karikatur penistaan Nabi saw., mereka tidak menggubrisnya, terbukti dengan Charlie Hebdo  kembali menampilkan sosok yang menggambarkan Rasulullah saw di cover depan majalahnya. Dalam edisi ini, ditampilkan sosok yang menggambarkan Rasulullah saw dengan wajah sedih dan memegang tulisan “Je Suis Charlie” (Kami adalah Charlie). Slogan itu merupakan bentuk solidaritas pihak yang membela kebebasan Charlie Hebdo untuk menghina agama termasuk Islam.
Atas kejadian ini, kemanakah para penguasa negeri Muslim? Anehnya, yang terjadi adalah mereka ikut mengecam serangan itu. Mereka segera berbaris rapi dalam barisan solidaritas terhadap serangan yang menewaskan 12 orang itu. Namun, di mana mereka ketika Charlie Hebdo berulang-ulang menistakan Islam dan Nabi saw.? Padahal dengan kekuasaan dan kekuatan yang ada di tangan mereka, mereka bisa berbuat banyak untuk menghentikan penistaan itu. Mereka terjangkiti standar ganda dan kemunafikan Barat. Jika mereka mengecam serangan itu sebagai terorisme, mengapa mereka tidak mengecam dan bersikap sama saat ribuan umat Islam di Gaza dibunuh oleh Yahudi, saat ratusan ribu Muslim dibantai rezim Asad di Suriah yang didukung Barat, saat jutaan orang di Irak tewas akibat invasi AS dan sekutu, saat ribuan Muslim Rohingya dibunuh dan diusir, saat ribuan orang tewas jadi sasaran drone di Pakistan, saat Muslim di Afrika dibantai dan dicincang, saat penghinaan dan penindasan ditimpakan terhadap kaum Muslim di mana-mana?!. Semua itu menjadi bukti bahwa keberadaan para penguasa negeri Islam itu bukanlah demi kepentingan Islam dan kaum Muslim. Keberadaan mereka seperti boneka atau budak yang tunduk patuh pada arahan tuan mereka, yakni Barat.
Apa yang terjadi menegaskan bahwa keberadaan kepemimpinan dan pemimpin Islam yang sebenarnya sudah sangat mendesak. Saat ini umat islam membutuhkan pemimpin yang dapat menjaga serta melindungi kemuliaan Islam, kehormatan Nabi saw., serta martabat dan kekayaan kaum Muslim. Mereka memimpin atas dasar Islam dan menjadikan Islam sebagai sistem. Kepemimpinan dan pemimpin itulah yang ada dalam sabda Nabi saw.: “Seorang imam itu sesungguhnya laksana perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan menjadikan dia sebagai pelindung (HR al-Bukhari dan, Muslim).
Sosok Pemimpin sepert itu dinamakan Khalifah, dan hal itu hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan Islam yang secara total diterapkan di bawah naungan Khilafah yang mengikuti metode kenabian.