Sabtu, 17 Mei 2014

GENERASI BANGSA TERPURUK!



Indonesia, Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak
 
 Saat ini Indonesia diramaikan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur. Di awali dengan terungkapnya kasus pedofilia di Jakarta International School (JIS), setelah itu satu persatu kasus terungkap di beberapa daerah di Indonesia, ibarat fenomena bola es yang semakin lama semakin membesar. Kasus kekerasan seksual ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi di Indonesia, selalu ada setiap tahunnya, bahkan terjadi peningkatan kasus. Korbannya kalangan anak umur 5 hingga 13 tahun, dan dilakukan oleh orang orang terdekat baik tetangga, guru, bahkan keluarga sendiri. Komnas Anak mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak (Kompas.com, 10/4/2008). Pada tahun 2009 ada 1.998 kekerasan meningkat pada tahun 2010 menjadi 2.335 kekerasan (tempointeraktif.com, 25/3/2011). Pada tahun 2011 ada 2.509 laporan kekerasan dan 59% nya adalah kekerasan seksual. Dan pada tahun 2012 Komnas PA menerima 2.637 laporan yang 62% nya kekerasan seksual (bbc,18/1). Tahun 2013, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Mabes Polri mencatat sepanjang tahun 2013 sekurangnya terjadi 1600 kasus asusila mulai dari pencabulan hingga kekerasan fisik pada anak-anak.
Adanya kasus ini berdampak buruk terhadap kondisi korban (anak) seperti dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah diri yang buruk, kekacauan kepribadian. Yang paling membahayakan adalah perubahan perilaku seksual, yang kemungkinan besar akan terjadi setelah dewasa korban akan menjadi pelaku kejahatan seksual akibat trauma yang pernah dialaminya sejak kecil.
Dr. Asrorun Niam Sholeh, Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap anak.  Pertama, faktor moralitas dan rendahnya internalisasi ajaran agama serta longgarnya pengawasan di level keluarga dan masyarakat. Kedua, faktor permisifitas dan abainya masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual. Ketiga, faktor kegagapan budaya dimana tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan destruktif lainnya ditonton, namun minim proses penyaringan pemahaman. Keempat, faktor perhatian orang tua dan keluarga yang relatif longgar terhadap anaknya dalam memberikan nilai-nilai hidup yang bersifat mencegah kejahatan pelecehan seksual. (lihat, arrahmah.com, 26/2/2013). Ditambah lagi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak bisa memberikan efek jera.  Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.
Melihat banyaknya faktor penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual ini, dapat disimpulkan bahwa kasus ini bukan kasus yang sepele namun sudah ditingkat darurat yang mesti segera diselesaikan hingga keakar permasalahan, ketika kita melihat faktor hukum yang kurang tegas dan tidak menimbulkan efek jera terhadap tersangka, maka solusinya bukan hanya dengan menambah jumlah kurungan atau ketika melihat bertambahnya korban setiap tahunnya solusinya bukan dengan membentuk sebuah LSM atau lembaga yang dapat mengurangi tindak kekerasan seksual pada anak, karena upaya-upaya tersebut tidak akan menyelesaikan permasalahan yang sudah crowded selama sistem yang dipakai di Indonesia masih berdasarkan asas pemisahan agama dengan kehidupan, yang salah satu prilaku individu penganutnya adalah kebebasan bertingkah laku, dan salahnya paradigma berpikir bahwa pelaku dulunya merupakan korban sehingga penyimpangan yang dilakukan adalah sebuah hal yang wajar akibat trauma.
Memberantas tindak pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas tidak bisa dilakukan secara parsial. Akan tetapi hanya bisa dilakukan secara sistemis ideologis.  Hal itu tidak lain dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui negara. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat.  Negara juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.  Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan sarana.  Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual dan pedofilia. Rakyat juga bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak.  Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani. Negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi menyebar di tengah masyarakat.  Sebaliknya di masyarakat akan ditanamkan kesopanan dan nilai-nilai luhur.
Namun jika dalam sistem islam masih ada yang melakukan kejahatan tersebut, maka sistem ‘uqubat Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Dengan dijatuhkannya sanksi hukum yang berat yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.  Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati.  Begitupun pelaku homoseksual.  Sehingga perilaku itu tidak akan menyebar di masyarakat.  Hukuman mati itu didasarkan kepada sabda Rasul saw: “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Dalam Ijmak sahabat menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meski diantara para sahabat berbeda pendapat tentang cara hukuman mati itu. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan). Jika kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya apabila sudah menikah akan dirajam hingga mati, sedangkan jika belum menikah akan dijilid seratus kali.  Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir.  Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi.
Dengan demikian, memberantas pedofilia dan menyelamatkan masyarakat dari kekerasan seksual termasuk kepada anak, jika serius harus dengan jalan mencampakkan ideologi dan sistem sekuler liberal demokrasi.  Berikutnya menerapkan syariah Islam secara total di bawah naungan sistem khilafah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar