Sebagian saudara kita yang
berjibaku dalam dunia dakwah mungkin pernah menyangka bahwa Allah SWT akan
toleransi jika ia bermaksiat. Ia menyangka demikian karena ia merasa telah ber-iltizam dengan islam dan bergabung
dengan barisan aktivis islam. Oleh sebab itu, dalam pandangannya, maksiat itu
merupakan perkara sepele, terutama jika ia sudah sedemikian lama ber-iltizam dengan islam dan telah
kehilangan semangat dan ghirah keagamaannya, karena satu dan lain hal.
Manakala ia menganggap sepele
dosa-dosa kecil atau menganggap enteng perkara-perkara syubhat, tiba-tiba maka
ia dapati hukuman Allah SWT demikian cepat mengenai dirinya. Ia pun kaget,
tidak habis pikir. Bisa jadi, sekarang ia mengerjakan salah satu dosa, lalu
beberapa jam kemudian ia merasakan akibatnya. Ia bingung ketika itu. Ia berkata
kepada dirinya, “dulu aku sering melakukan ratusan dosa seperti dosa ini,
bahkan yang lebih besar lagi, sebelum ber-iltizam dengan islam, tetapi aku
tidak mendapati hukuman. Kini, hukuman terasa cepat sekali, langsung dan berat.
Jika aktivis islam ini memahami
agamanya dengan baik, ia pasti tahu bahwa Allah SWT sangat cemburu jika hal-hal
yang Dia haramkan dikerjakan oleh hambaNya. Dia lebih cemburu lagi jika hal-hal
terlarang itu dikerjakan oleh para waliNya yang notabene orang-orang dekatNya
dan orang-orang yang layak menjauhi perilaku maksiat. Karena itu, orang-orang
yang mengemban risalah islam harus lebih bertakwa kepada Allah SWT, ia harus
bisa menjauhi dosa-dosa kecil dan perkara-perkara syubhat, apalagi dosa-dosa
besar. Sebab, mereka biasa melarang oranglain dari melakukan kemaksiatan. Lalu bagaimana
mungkin jika ia sendiri melakukan kemaksiatan tersebut?.
Para aktivis islam di-hisab
oleh Allah SWT dengan hisab yang lebih berat dan lebih sulit daripada yang
dialami oranglain. Setiap aktivis harus menyadari bahwa antara Allah SWT dan
manusia, kendati jabatannya tinggi, tidak ada hubungan kekerabatan. Allah bakal
menegakkan keadilan karena Dia adalah Hakim yang Maha adil. Firmah Allah SWT : “(Pahala
dari Allah) itu bukan menurut angan-angan kosong kalian dan tidak pula menurut
angan-angan Ahlul kitab. Siapa saja yang mengerjakan kejahatan, niscaya ia
dibalas karena kejahatannya itu.” (QS
An-Nisa : 143)
Ayat di atas dianggap oleh
sebagian sahabat Rasulullah saw sebagai ayat yang paling berat di dalam
al-Quran. (HR Ibn Jarir dan Abu Dawud).
Saya sendiri menganggap ayat ini adalah ayat yang paling menakutkan orang
mukmin dan membuat bulu kuduknya merinding. Ayat di atas berbicara kepada para
sahabat. Siapa mereka? Pernah dikisahkan bahwa kebaikan 1 orang sahabat
Rasulullah yakni Umar bin Khattab ra. itu sebanding dengan ratusan kebaikan Abu
bakar ra. Tapi Allah masih menurunkan ayat seperti itu kepada mereka, padahal
mereka adalah orang-orang yang sudah dijamin masuk syurga. Lalu siapa kita? Bagaimana
dengan kita, yang kebaikannya bercampur dengan keburukan? Bahkan ada jaminan
masuk syurgapun tidak. Ayat di atas adalah lonceng bahaya, yang ditabuh untuk
menyadarkan kita semua bahwa timbangan keadilan itu tidak hanya mengenai seseorang,
setinggi apapun martabatnya., sebaik apapun orangnya, sebesar apapun
pengorbannya untuk islam. Dosa dan maksiat adalah sumber malapetaka. Petaka terjadi
karena dosa dan hilang karena tobat. Seorang syaikh mengitari salah satu
majelis. Ia lalu berkata, “siapa ingin selalu dalam keadaan sehat, ia harus
selalu bertakwa kepada Allah.”
Dalam sebuah hadist Nabi yang
mulia pernah terungkap : “sesungguhnya seorang hamba bisa terhalang rezeki
karena dosa yang dilakukannya.” (HR Ibnu
Majah dan Ahmad). Pernah sandal Abu Ustman an-Nisaburi putus dalam
perjalanannya salat jumat dan ia butuh waktu satu jam untuk memperbaikinya. Ia berkata,
“sandal ini putus karena aku tidak mandi hari jumat.”
Terkadang hukuman dari Allah
itu berupa hukuman moral. Misalnya,
seseorang melihat sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Akibatnya, Allah mengharamkan
cahaya hati nurani pada dirinya. Contoh lain : seseorang tidak bisa
mengendalikan lisannya. Akibatnya, Allah mengharamkan baginya kejernihan hati. Seseorang
tergoda untuk memakan makanan syubhat. Akibatnya, hatinya gelap, ia pun tidak
bisa mengerjakan salat malam dan bermunajat kepada Allah. Maksiat itu melahirkan
maksiat yang sama. Jika maksiat sering dikerjakan, maka terjadi akumulasi
maksiat. Kadang-kadang pelaku maksiat melihat tubuhnya segar bugar, hartanya
banyak dan tidak ada masalah dengan keluarganya. Ia mengira dirinya tidak
dihukum, padahal ketidaktahuannya kalau ia sedang dihukum merupakan hukuman
bagi dirinya. Cukuplah baginya, sesuatu yang manis berbuah manjadi pahit. Lalu yang
ada tinggal pahitnya penyesalan dan kesedihan.
Diriwayatkan, seorang rahib
Bani Israel pernah bermimpi bertemu dengan Allah SWT. Ia berkata, “Tuhanku, aku
bermaksiat kepadaMu, tetapi engkau tidak menghukumku.” Allah lalu berfirman, “
Aku sudah sering menghukummu, tetapi engkau tidka tahu. Bukankah aku telah
membuatmu tidak lagi dapat bermunajat kepadaku dengan manis?”
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah meringkas efek-efek maksiat
dalam bukunya yang berjudul Al-Fawaid. Dengan sangat indah ia berkata, “diantara
efek maksiat adalah pelakunya tidak banyak mendapatkan hidayah, pikirannya
kacau, ia tidka melihat kebenaran dengan jelas, batinnya rusak, daya ingatnya
lemah, waktunya hilanag sia-sia, dibenci manusia, hubungannya dengan Allah
renggang, doanya tidak dikabulkan, hatinya keras, keberkahan dalam rezeki dan
umurnya musnah, diharamkan mendapat ilmu, hina, dihinakan musuh, dadanya sesak,
diuji dengan teman-teman jahat yang merusak hati dan menyia-nyiakan waktu,
cemas berkepanjangan, sumber rezekinya seret, hatinya terguncang. Maksiat dan
lalai membuat orang tidka bisa berdzikir kepada Allah, sebagaimana tanaman
tumbuh karena air dan kebakaran terjadi karena api. Berkebalikan dengan semua
itu adalah muncul karena ketaatan.” (Ibn
al-Qayyim, kitab al-Fawaid, hal.43)
Ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata, “siapa saja yang
merenungkan kehinaan saudara-sudara Nabi Yusuf, mereka tahu betapa dosa itu
menghinakan mereka, kendati mereka telah bertaubat. Sebab orang yang pakaian
bolongnya ditambal tidak akan sama dengan orang yang pakaiannya utuh. Tulang yang
pernah patah tidak dapat pulih seperti sediakala. Kalaupun pulih, tulang
tersebut lemah.” (Ibn al-Jauzi, Shayd al-Khathir, hal.123). Maka hindarilah
diri kita dari melakukan maksiat bahkan debu maksiat sekalipun, karena waktu
tidak akan opernah kembali, ketika maksiat dijalankan semuanya tidak akan
pernah bisa kembali seperti sediakala yang ada hanyalah penyesalan dalam diri.