Sampai detik ini masyarakat masih dibingungkan dengan kisruh
para pejabat negara, yakni “pertarungan” antara KPK-POLRI, yang tidak ada
ujungnya seolah sulit mendapatkan jalan keluar. Kasus ini bermula saat KPK
menetapkan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Padahal Budi
Gunawan telah diajukan oleh Presiden Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal
Kapolri untuk menggantikan Jenderal Sutarman. Meski BG sudah ditetapkan sebagai
tersangka, pencalonan BG sebagai Kapolri tetap diproses dalam Sidang Pleno DPR.
DPR pun setuju dan menerima. Namun, karena BG jadi tersangka, Presiden Jokowi
memutuskan menunda pelantikan BG sebagai Kapolri. Jokowi lalu memberhentikan
dengan hormat Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan mengangkat Wakapolri
Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.
BG dijerat kasus pidana penerimaan
hadiah dan janji saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Mabes Polri
2003-2006. Setelah penetapan BG sebagai tersangka, mulai muncul kasus-kasus
yang mendera para petinggi KPK, diantaranya ketua KPK (Abraham Samad), Bambang
Widjayanto, Pandu Praja dan Zulkarnain. Abraham Samad dituduh melakukan prilaku
tak senonoh dengan beredar foto yang memperlihatkan Abraham
Samad berpose mesra dengan Putri Indonesia, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
(BW) ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri. BW dituduh mengarahkan saksi untuk
memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat
Kalteng di MK. Namun, itu terjadi pada 2010 lalu. Selain itu. Kemudian,
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Bareskrim. Ia dituduh telah
menguasai saham PT. Daisy Timber di Berau, Kalimantan Timur dengan cara-cara
yang tidak benar. Namun, kasus itu pun sudah lama, yakni terjadi pada tahun
2006 (Lihat: Republika.co.id, 24/1). Selanjutnya, Presidium Jatim Am
dari Aliansi Masyarakat Jawa Timur, Fathorrasjid, menyatakan bahwa pihaknya
akan melaporkan Zulkarnain ke Bareskrim. Zulkarnain diduga menerima uang suap
sekitar Rp 5 miliar pada 2010 untuk menghentikan penyidikan perkara penyelewengan
anggaran Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada
2008. Saat itu Zulkarnain menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim (Lihat: Tempo.co.id,
26/1).
Kisruh yang terjadi ini untuk ke
sekian kalinya membuktikan betapa Politik ‘Saling Sandra’, terjadi dikalangan
elit politik. Penegakan hukum sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan
politik. Kelemahan dan kasus hukum pihak lain lantas dijadikan alat
tawar-menawar demi kepentingan masing-masing. Celakanya hal ini melibatkan
para penegak hukum yakni KPK dan Polri. Inilah buah dari sistem demokrasi yang
mahal dan menghalalkan segala cara. Alih-alih mengurusi urusan rakyat, para
pejabatnya sibuk dengan kepentingan diri dan para cukongnya. Pada gilirannya
hilangnya moralitas dan etika dalam penegakan hukum terjadi.
Dengan sistem demokrasi seperti itu, di belakang para
politisi, penguasa dan pejabat, semuanya ada kepentingan politik dan ekonomi
(modal) yang terus menyertai. Agar kepentingan semua pihak bisa diwujudkan,
semua pihak harus terus berkompromi satu sama lain. Agar kompromi itu terus
terjadi maka salah satu caranya adalah dengan saling menyandera satu sama lain.
Dengan begitu masing-masing pihak akan terkontrol dan tidak saling berulah
sehingga merugikan kepentingan mereka sendiri. Semua yang terjadi juga menjadi
bukti bahwa demokrasi hanya menawarkan ilusi demi ilusi: ilusi kesejahteraan,
ilusi keadilan, ilusi kedaulatan, ilusi rezim yang senantiasa mendengarkan
aspirasi rakyat dan ilusi-ilusi lainnya. Semua itu pada akhirnya menjadi bukti
kebobrokan sistem demokrasi. Pada titik inilah tepat direnungkan firman Allah
SWT: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki. Hukum siapakah yang
lebih baik dibandingkan dengan hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50).
Kisruh sepeti di atas sulit
dibayangkan dapat terjadi bila sistem Islam ditegakkan. Ada seperangkat sistem
Islam yang memastikan penegakan hukum bisa berjalan. Di antaranya, Pertama:
Kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang bersifat individual.
Ketentuan ini berlaku dalam semua level kepemimpinan. Kepemimpinan dalam Islam
haruslah dipegang oleh satu orang, tidak boleh lebih. Dalam hal kepemimpinan
negara, seorang Khalifah tidak bisa disetir oleh pihak manapun, baik dalam hal
kebijakan hukum termasuk dalam hal menentukan pejabat dan para pembantunya.
Karena itu, syarat menjadi seorang Khalifah harus merdeka. Selain itu,
kepemimpinannya juga tunggal, bukan kolektif kolegial. Berbeda dengan sistem
demokrasi, konsep pembagian kekuasaan sering kali mengerdilkan kekuasaan
presiden. Terlebih dengan kenyataan bahwa presiden bukan hanya harus
bertanggung jawab kepada DPR, melainkan dia harus tunduk kepada kepentingan
para cukong, baik para Kapitalis maupun cukong politik yang
memopulerkannya. Inilah yang sangat kental dalam kisruh pencalonan BG.
Kedua: Islam menjamin tidak adanya tumpang
tindih kewenangan. Berbeda dengan sistem demokrasi saat ini, sama-sama kasus
yang berbau korupsi, namun penyidikannya bisa dilakukan oleh lembaga yang
berbeda-beda. Ketiga: Islam menjamin kepastian hukum. Sistem
peradilan Islam hanya satu. Islam juga tidak mengenal adanya pembagian jenjang
pengadilan. Oleh karena itu, dalam sistem peradilan Islam tidak dikenal istilah
pra-peradilan, peradilan banding, maupun kasasi. Keempat: Islam
mengajarkan bahwa setiap kasus hukum tidak boleh ditangguh-tangguhkan, sehingga
tidak terjadi penumpukan kasus, apa lagi dijadikan alat untuk menjatuhkan pihak
lain. Dalam kasus persengketaan (al-khusumat). Islam mewajibkan kepada
penuntut untuk segera mendatangkan saksi dan kepada yang dituntut untuk
bersumpah, bila kasus yang diajukan kepadanya tidak benar.
Kelima: Islam tidak
hanya mengatur mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para
pemangkunya dengan berbagai kriteria yang ekstra ketat. Selain kriteria Muslim,
baligh, berakal, merdeka, mampu dan adil. Lebih dari itu, ada kriteria umum
yang harus dimiliki oleh semua hakim, yakni kelayakan dan ketakwaan. Islam
menetapkan akhlak para hakim,
antara lain harus berwibawa, menjaga harga diri, tidak banyak berinteraksi
dengan orang, senda gurau dengan mereka, menjaga ucapan dan tindak tanduknya. Para
hakim dipilih dari orang-orang
yang tegas tetapi tidak kasar, lembut tetapi tidak lemah, cerdas, sadar, tidak
lengah dan tertipu ketika memutuskan, bersih hatinya, wara’, bijak, jauh dari
sikap tamak, baik terhadap materi maupun jabatan.
Keenam: Islam juga
menetapkan hukum-hukum tertentu terhadap para penegak hukum, agar ia
benar-benar dapat berkonsentrasi dalam menjalankan tugasnya, seperti larangan
mendapatkan hadiah, larangan menyibukkan diri dalam aktivitas yang bisa
melalaikan tugasnya, termasuk berbisnis dan sejenisnya. Ketujuh: jika
seluruh kriteria, mekanisme dan pintu di atas telah ditutup, tetapi praktek
suap masih juga terjadi, maka hanya sanksi yang keras dan tegaslah yang bisa
menghentikan mereka. Karena itu, Islam pun menetapkan sanksi kepada mereka yang
melakukan suap; baik penyuap, penerima suap, maupun perantaranya.
Islam adalah agama yang sempurna,
datang dengan segenap sistem yang paripurna untuk menyelesaikan persoalan hukum
dan peradilan serta menjamin kemaslahatan bagi umat manusia. Dan semuanya itu
hanya dapat dicapai dengan penegakkan syariat islam dibawah naungan Khilafah
Islamiyah.