Indonesia, Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak
Saat ini Indonesia diramaikan dengan kasus kekerasan seksual terhadap
anak dibawah umur. Di awali dengan terungkapnya kasus pedofilia di Jakarta International School (JIS),
setelah itu satu persatu kasus
terungkap di beberapa daerah di Indonesia, ibarat fenomena bola es yang semakin
lama semakin membesar. Kasus kekerasan seksual ini sebenarnya bukan kali pertama
terjadi di Indonesia, selalu ada setiap tahunnya, bahkan terjadi peningkatan
kasus. Korbannya kalangan anak umur 5 hingga 13 tahun, dan dilakukan oleh orang
orang terdekat baik tetangga, guru, bahkan keluarga sendiri. Komnas Anak
mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi
terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun
itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak
(Kompas.com, 10/4/2008). Pada tahun 2009 ada 1.998 kekerasan meningkat pada
tahun 2010 menjadi 2.335 kekerasan (tempointeraktif.com, 25/3/2011). Pada tahun
2011 ada 2.509 laporan kekerasan dan 59% nya adalah kekerasan seksual. Dan pada
tahun 2012 Komnas PA menerima 2.637 laporan yang 62% nya kekerasan seksual (bbc,18/1).
Tahun 2013, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Mabes Polri
mencatat sepanjang tahun 2013 sekurangnya terjadi 1600 kasus asusila mulai dari
pencabulan hingga kekerasan fisik pada anak-anak.
Adanya kasus
ini berdampak buruk terhadap kondisi korban (anak) seperti dampak psikologis,
emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma,
kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah diri yang buruk, kekacauan
kepribadian. Yang paling membahayakan adalah perubahan perilaku seksual, yang
kemungkinan besar akan terjadi setelah dewasa korban akan menjadi pelaku
kejahatan seksual akibat trauma yang pernah dialaminya sejak kecil.
Dr. Asrorun
Niam Sholeh, Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, menyebut beberapa faktor penyebab
terjadinya pelecehan seksual terhadap anak. Pertama, faktor
moralitas dan rendahnya internalisasi ajaran agama serta longgarnya pengawasan
di level keluarga dan masyarakat. Kedua, faktor permisifitas dan abainya
masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual. Ketiga, faktor kegagapan
budaya dimana tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis
tayangan destruktif lainnya ditonton, namun minim proses penyaringan pemahaman.
Keempat, faktor perhatian orang tua dan keluarga yang relatif longgar
terhadap anaknya dalam memberikan nilai-nilai hidup yang bersifat mencegah
kejahatan pelecehan seksual. (lihat, arrahmah.com, 26/2/2013). Ditambah lagi
hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak bisa memberikan efek
jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat
Pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman
antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan
diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.
Melihat
banyaknya faktor penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual ini, dapat
disimpulkan bahwa kasus ini bukan kasus yang sepele namun sudah ditingkat
darurat yang mesti segera diselesaikan hingga keakar permasalahan, ketika kita
melihat faktor hukum yang kurang tegas dan tidak menimbulkan efek jera terhadap
tersangka, maka solusinya bukan hanya dengan menambah jumlah kurungan atau
ketika melihat bertambahnya korban setiap tahunnya solusinya bukan dengan
membentuk sebuah LSM atau lembaga yang dapat mengurangi tindak kekerasan
seksual pada anak, karena upaya-upaya tersebut tidak akan menyelesaikan
permasalahan yang sudah crowded selama
sistem yang dipakai di Indonesia masih berdasarkan asas pemisahan agama dengan
kehidupan, yang salah satu prilaku individu penganutnya adalah kebebasan
bertingkah laku, dan salahnya paradigma berpikir bahwa pelaku dulunya merupakan
korban sehingga penyimpangan yang dilakukan adalah sebuah hal yang wajar akibat
trauma.
Memberantas
tindak pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas tidak bisa dilakukan
secara parsial. Akan tetapi hanya bisa dilakukan secara sistemis ideologis.
Hal itu tidak lain dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui
negara. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa
menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara juga
berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya,
pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat. Hal itu ditempuh melalui semua
sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam
institusi, saluran dan sarana. Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki
kendali internal yang menghalanginya dari tindakan kriminal termasuk kekerasan
seksual dan pedofilia. Rakyat juga bisa menyaring informasi, pemikiran dan
budaya yang merusak. Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat
tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani. Negara
juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi menyebar di
tengah masyarakat. Sebaliknya di masyarakat akan ditanamkan kesopanan dan
nilai-nilai luhur.
Namun jika
dalam sistem islam masih ada yang melakukan kejahatan tersebut, maka sistem
‘uqubat Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua
itu. Dengan dijatuhkannya sanksi hukum yang berat yang bisa memberikan efek
jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan
serupa. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman
mati. Begitupun pelaku homoseksual. Sehingga perilaku itu tidak
akan menyebar di masyarakat. Hukuman mati itu didasarkan kepada sabda
Rasul saw: “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth
(homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang
disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim,
al-Baihaqi)
Dalam Ijmak sahabat menyatakan bahwa hukuman bagi
pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meski diantara para sahabat berbeda
pendapat tentang cara hukuman mati itu. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku
sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan). Jika
kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam
bentuk perkosaan, maka pelakunya apabila sudah menikah akan dirajam hingga
mati, sedangkan jika belum menikah akan dijilid seratus kali. Jika
pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi
ta’zir. Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan
qadhi.
Dengan
demikian, memberantas pedofilia dan menyelamatkan masyarakat dari kekerasan
seksual termasuk kepada anak, jika serius harus dengan jalan mencampakkan
ideologi dan sistem sekuler liberal demokrasi. Berikutnya menerapkan
syariah Islam secara total di bawah naungan sistem khilafah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar