Dulu saya
sempat berpikir bahwa permasalahan yang menimpa manusia itu cenderung berubah/dinamis.
Tapi ternyata logikanya bukan seperti itu, manusianyalah yang berubah sedangkan
masalah yang dihadapi tidak berubah, statis sesuai dengan fase yang dilewati
oleh setiap manusia. Sebagai contoh, masalah yang dihadapi oleh mahasiswa baru
hanya berkutat di permasalahan menumpuknya tugas akademik dan tugas yang
diberikan oleh senior ketika masa-masa ospek. Contah lain, galaunya mahasiswa
tingkat akhir karena urusan skripsi yang tidak ada ujungnya, atau contoh lain
ketika Ia sudah lulus dan menjadi sarjana masalah itupun tetap ada, bingung
apakah harus kerja dan ketika bekerjapun harus kerja apa (karena sulitnya
mencari lowongan) ? Tapi kalaupun harus menikah, bingung masih banyak hal yang
belum disiapkan, atau jika terpikir untuk meneruskan studi (S2) bidang apa yang
harus diambil dan darimana biaya kuliah harus didapat (karena lagi-lagi tidak
mau menyusahkan orangtua)?. Dan pada faktanya semua permasalahan itu hampir
semua manusia yang berada di fase-fase tersebut mengalaminya, dan sebenarnya
diapun sudah memprediksi lebih dulu resiko-resiko apa saja yang akan dia hadapi
ketika memilih dan melewati fase-fase tersebut.
Dalam firmanNya,
Allah SWT telah mengingatkan kita akan hal di atas. Sebagai contoh dalam Q.S
Al-Mu’minun : 62 Allah Berfirmah : “Kami tiada membebani seseorang melainkan
menurut kesanggupannya......” atau di Q.S Al-A’raf : 42 “Dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada
diri seseorang melainkan sekadar kemampuannya.....” dan dibeberapa ayat yang
lain Allahpun sudah menjelaskan begitu gamblang yang pada intinya adalah
permasalahan yang dihadapi manusia itu sebenarnya “itu-itu” saja, statis dan
sebagian orangpun melewatinya., yang membuat permasalahan yang dihadapi manusia
itu berubah adalah manusianya itu sendiri. Seperti contoh, orang yang tidak
memiliki suami dan anak tidak mungkin diberi ujian/masalah yang sama dengan
orang yang memiliki keduanya, dia tidak mungkin dipusingkan dengan urusan rumah
tangga, sulitnya mendidik anak, dan berbagai masalah yang muncul akibat
berbedanya pendapat dengan suami bahkan masalah yang muncul dari keluarga
besarnya (pihak suami atau istri). Pertanyaannya saat ini adalah, mengapa bisa
terjadi fakta perbedaan masalah yang muncul dari setiap manusia? itu
dikarenakan fase yang dilalui oleh manusia itu sendiri dan sebenarnya manusia
yang menentukan pilihan apakah akan memilih fase-fase kehidupan tersebut atau
tidak.
Kemudian apa
yang menyebabkan kadar ujian yang dihadapi setiap manusia berbeda? Ada yang
berat, ada yang ringan, bahkan ada juga yang kehidupannya flat gitu-gitu aja tidak ada feelnya
sama sekali, hal tersebut dapat kita lihat dari tingkat keimanan manusia
tersebut. Dalam Q.S Albaqarah:214 Allah berfirman : “apakah kamu mengira bahwa
kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan.....” dan di Q.S
Asy-Syuura:30 “Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri (pilihan).....” dan dibeberapa hadist Rasul pun
sudah dijelaskan bahwa tingkat kesulitan sebuah ujian itu dipengaruhi oleh
tingkat keimanan seseorang.walaupun memang terkait dengan sebesar apa kadar
ujian itu dan kepada siapa Allah menimpakanNya, itu merupakan hak mutlak Allah
sebagai pencipta, namun hanya saja manusia bisa mengukur kualitas keimanannya
dan tingkat kemampuannya serta memilih untuk melalui fase-fase kehidupannya
seperti contoh-contoh sebelumnya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa masalah/ujian/cobaan itu menimpa seorang manusia tergantung
dari fase kehidupan yang Ia jalani (anak-anak, remaja, dewasa) dan pilihan
hidupnya (pengangguran, mahasiswa, berumahtangga dll) dan ketika melalui
fase-fase tersebut berikut dengan pilihan hidupnya masing-masing, maka akan
turun ujian sesuai dengan kemampuannya dan tingkat/kualitas keimanan yang ada
pada dirinyapun mempengaruhi pula kadar (besar kecilnya) ujian yang menimpanya,
akan tetapi permasalahannya adalah keimanan seseorang itu akan tampak jelas
terlihat pada saat Ia menyelesaikan permasalahan itu, apakah bersabar atau
tidak, tawakal kepada Allah atau tidak, Islam yang dijadikan solusi baginya
atau tidak dan juga setelah Ia berhasil melalui ujian tersebut (dengan
menyertakan Allah atau tidak) apakah Ia menjadi orang yang lebih baik dari
sebelumnya atau malah ujian tersebut membuat Ia berputus asa dan jauh dari
Allah, itupun dipengaruhi oleh bagaimana Ia menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi sebelumnya.
Maka dari
itu, sudah sepantasnya kita menyadari bahwa segala hal yang menimpa manusia
adalah sudah kehendak Allah dengan pilihan-pilihan yang sudah kita tentukan,
maka apapun permasalahannya kembalikanlah kepada Allah dengan begitu kita akan
sadar bahwa ujian itu datangnya dari Allah maka solusi yang harus kita gunakan
untuk menyelesaikannya hanyalah melalui jalan Allah (Islam).