Pemilihan Umum Capres dan
Cawapres tinggal menghitung hari, pada 9 Juli 2014 mendatang rakyat Indonesia
akan menentukan pilihannya sekaligus mempertaruhkan akan kemana negara ini
dibawa oleh pemimpinnya yang baru. Panas-panas kampanye calon sudah sangat
terasa, dan tidak sedikit KPU menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan
baik oleh tim sukses bahkan oleh calonnya sendiri. Segala macam cara dilakukan
oleh kedua kubu capres dan cawapres, dari mulai mengumpulkan parpol untuk
berkoalisi, para pengusaha yang rela “menghibahkan” sebagian hartanya demi
kelancaran kampanye, hingga mendatangi ketua perkumpulan di masyarakat guna memperbesar
kantong suara pemilu.
Selain itu, berbagai macam
pencitraan dilakukan oleh kedua pasangan guna menarik simpati masyarakat, kedua
pasangan sama-sama memilih warna putih sebagai identitasnya untuk memberi pesan
bahwa mereka bersih. Citra ini tentu penting saat wajah Indonesia belepotan
oleh korupsi. Putih juga tentu untuk mengesankan bahwa mereka tulus mengabdi
untuk kepentingan rakyat, independen serta bukan penguasa boneka yang disetir
dan dikendalikan oleh pihak dalam atau luar negeri.
Tidak lupa visi dan janji-janji manis dilontarkan, pasangan
Jokowi-JK mengusung visi “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri dan Berkepribadian”. Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengusung, “Agenda
dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia”. Kedua pasangan sama-sama
mengklaim mengusung ekonomi kerakyatan. Mereka berjanji membuka jutaan lapangan
kerja, meningkatkan pendapatan perkapita, membuka jutaan hektar lahan baru,
membangun infrastruktur, menata sektor pertambangan, menata sektor energi, mengembangkan
energi terbarukan, membangun kilang, memperbaiki dan membangun irigasi untuk
jutaan hektar lahan, meningkatkan hasil perikanan dan kesejahteraan nelayan,
menata sektor keuangan dan sejumlah janji-janji muluk lainnya.
Meski kedua pasangan sama-sama mengusung ekonomi
kerakyatan, bentuk dan gambarannya belum jelas. Yang mereka usung tetap sistem
ekonomi kapitalisme, dengan sedikit polesan berupa program yang “menyasar
rakyat kecil, petani dan nelayan”. Pilar-pilar sistem ekonomi
kapitalisme-liberal masih tetap dipertahankan. Sistem moneternya masih tetap
mata uang fiat money dan berbasis riba. Sumber terbesar pendapatan
negara tetap bertumpu pada pajak. Bahkan kedua pasangan bertekad untuk
meningkatkan pendapatan dari sektor pajak dan cukai. Sistem anggaran juga tetap
menggunakan utang meski katanya akan dikurangi. Jika utang LN dikurangi,
tumpuannya akan beralih pada utang dalam negeri dalam bentuk surat utang
negara, meniru negara-negara kapitalis seperti AS dan Jepang. Dijanjikan pula,
utang akan lebih digunakan untuk infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.
Siapapun capres dan cawapresnya tidak dapat merubah
suatu kebijakan dalam hal apapun. Maka, dengan adanya pilpres ini hingga
kapanpun tidak akan pernah membawa Indonesia khususnya rakyat ke arah yang
lebih baik selama sistem yang dipakai masih demokrasi yang berlandaskan pada
kapitalisme. Tentunya yang akan lebih diuntungkan hanyalah pihak swasta yang
memiliki modal. Jadi omong kosong apabila kedua pasangan tersebut mengatakan
akan independen (tanpa campur tangan swasta/asing) dalam menjalankan amanah
sebagai pemimpin.
Jadi pada kenyataanya, yang ditawarkan oleh kedua
pasangan adalah melanjutkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme disertai
sedikit modifikasi. Padahal selama ini sistem ekonomi kapitalisme itulah yang
menjadi sebab timpangnya distribusi kekayaan di negeri ini. Sistem ini juga
menjadi pintu masuk cengkeraman asing terhadap perekonomian negeri ini.
Akibatnya, kekayaan negeri ini lebih banyak untuk kesejahteraan pihak asing,
bukan untuk rakyat.
Saat ini rakyat sudah sangat membutuhkan sosok
pemimpin yang amanah, bukan hanya sekedar pintar dalam menyususn “laporan”
anggaran keuangan apalagi mengumbar jani-janji tak pasti, karena rakyat sudah
sangat “gerah” akan hal itu. Sesungguhnya negeri ini dengan segala yang ada di
atasnya adalah milik Allah SWT. Semuanya telah Allah SWT titipkan kepada
penduduk negeri ini untuk dikelola dengan baik. Karena itu, negeri ini harus
dipimpin oleh penguasa yang memiliki kemampuan dan sifat amanah. Dalam Islam,
kekuasaan itu sendiri adalah amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah SWT di akhirat nanti. Rasul saw. bersabda saat Abu Dzar ra. meminta
jabatan:
Sesungguhnya
jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu
pada Hari Kiamat akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi
orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi
kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan al-Hakim).
Tugas
penguasa adalah mengurusi segala kepentingan rakyatnya. Penguasa ibarat
penggembala yang bertanggung jawab atas semua gembalaannya. Rasul saw.
mengingatkan:
Sungguh
seburuk-buruk penggembala adalah al-khuthamah. Karena itu jangan sampai engkau
termasuk dari mereka (HR Muslim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Saat ini negara yang sudah dipenuhi oleh kolusi,
korupsi, manipulasi dan berbagai bentuk kecurangan, kebutuhan akan penguasa
yang amanah sudah sangat darurat dan tidak bisa digantikan oleh yang lain.
Hanya penguasa amanah saja yang akan bisa menertibkan pejabat dan aparatur
negara di bawahnya. Sayangnya, penguasa amanah tersebut utopis dapat ditemukan
disistem saat ini yang sudah jelas-jelas berasakan sekulerisme (pemisahan agama
dari kehidupan) tentunya mereka akan menapikan keterlibatan agama dalam
pengaturan kenegaraan. Maka pemimpin amanah yang bertakwa kepada Allah dan
menyadari bahwa kekuasaan itu sebagai tanggungjawab dan harus dijalankan
sebaik-baiknya hanya ada dalam sistem islam yang menerapkan syariat islam
dibawah naungan daulah khilafah islamiyah.